IMG_2163

Badan Penghubung Daerah Provinsi Papua Barat di Jakarta menggelar seminar pembinaan mahasiswa dan pelajar Papua Barat se-Jabotabek di Fame Hotel, Gading Serpong, Tangerang, Sabtu (25/3). Acara berlangsung meriah dengan ratusan mahasiswa dan pelajar yang sejak pagi hari sudah memadati lokasi.

Seminar yang bertemakan “Peran Strategis Mahasiswa /Pelajar Sebagai Sumber Daya Potensial Dalam Mendorong Percepatan Pembangunan di Papua Barat” menghadirkan narasumber yang berkompeten, yaitu  Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI.

Juliana A Maitimu, S.Mn, selaku Kepala Badan Penghubung Provinsi Papua Barat yang didampingi oleh Santi Wamea.S.Sos, Kasubbid  Hubungan Antar Lembaga, mengatakan bahwa seminar ini diselenggarakan untuk pencerahan kepada mahasiswa dan pelajar bahwa mereka berada dalam arus perubahan, untuk berada dalam perubahan mereka harus mempersiapkan diri.

“Jadi di awal ini kami memberikan pencerahan dalam bentuk seminar. Karena mereka harus tahu, mereka start dari mana dan sekarang di posisi mana. Setelah mereka mendengar, mengerti, memahami mereka akan termotivasi untuk melakukan.” Kata Juliana. Kenapa kepada mahasiswa? Juliana menegaskan, karena mereka adalah generasi muda, merekalah yang akan melakukan perubahan setelah kembali ke Papua Barat.

“Karena mereka sejatinya adalah agen perubahan, untuk kemajuan Papua Barat. Ini adalah tugas pemerintah daerah, memfasilitasi mereka agar masuk kedalam arus perubahan, karena perubahan itu tidak bisa ditahan,” ujarnya.

“Dan mereka harus melewati proses itu. Kita tidak boleh menangis. Kalau tidak ikut perubahan kita akan ketingggalan.  Dari semua itu, membangun moral adalah yang utama,” tegas Juliana.

IMG_2198

Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI, pria kelahiran Paniai, Papua, 28 Juni 1975, menceritakan, tahun 1990 awal berangkat dari Papua dia hanya membawa uang saku Rp70.000 Dalam perjalanannya, dia sempat transit. Di Makassar Natalius sempat ditangkap aparat keamanan. Karena dijelaskan mau kuliah, akhirnya dia dilepaskan. Setelah sampai di Jakarta, dia terus menuju ke Yogyakarta. Di kota ini, uang sakunya tinggal Rp20.000. Bayangkan untuk bertahan hidup di perantauan hanya tinggal berbekal itu. Namun dengan segala upaya, Natalius bisa melewati masa-masa sulit saat di sana. Dia juga berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan mendapat gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.I.P.) dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta pada 1999.

“Selama tinggal di Yogyakarta, saya ikut semua kegiataan kemahasiswaan. Ikut semua organisasi, ikut semua pembinaan. Saya mulai ikut terlibat aktif pergerakan mulai tahun 1995, 1998 dan 2000.  Jadi apa yang telah diraih hari ini, bukan pemberian, tapi hasil dari perjuangan,” tegasnya.

Menurut Natalius Pigai, saat ini Papua dan Papua Barat sedang mengalami tsunami kemanusiaan, sangat kritis, sangat membahayakan. Tingkat kematian ibu dan anak di provinsi itu paling tinggi di Indonesia, tingkat buta hurufnya juga tertinggi.

“Ini semua karena kita juga masih buta, buta akan pentingnya pendidikan. Karena adik-adik tidak mempersiapkan diri. Untuk itu mari bersama-sama mempersiapkan diri, menghadapi persaingan yang sangat kompetitif. Hidup ini keras,” kata Natalius.

“Untuk menghadapi persaingan ini, ada tiga hal yang harus dipersiapkan, yaitu kompetensi, keterampilan dan manajemen. Inilah modal untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan. Adik-adik yang menjadi masa depan, yang mengendalikan semuanya,” pungkasnya.